Edukasi Wakaf
Benarkah Tidak Boleh Menikah di Bulan Safar?

Benarkah Tidak Boleh Menikah di Bulan Safar?

Safar merupakan bulan ke dua setelah bulan Muharram dalam kalender hijriyah. Safar sendiri berasal dari Bahasa Arab ‘shifr’ yang berarti kosong atau pergi. Makna kosong di sini merujuk pada tradisi bangsa Arab pada masa lampau yang selalu pergi meninggalkan kediamannya dalam keadaan sepi di bulan Safar untuk melakukan perjalanan jauh maupun berperang. Sehingga, banyak peristiwa bersejarah yang terjadi di bulan Safar, seperti pertempuran pasukan Rasulullah SAW dengan umat Yahudi, ekspedisi kaum Anshar, hingga terjadinya Keputusan awal mula hijrah Nabi SAW.

 

Namun, kekosongan yang terjadi ini menimbulkan anggapan di benak bangsa Arab di masa itu bahwa bulan Safar merupakan bulan yang kosong akan kebaikan dan dipenuhi dengan kesengsaraan. Keyakinan inipun menyeruak hingga ke masyarakat Indonesia yang pada masa kini masih terdapat sebagian orang yang mempercayainya.

 

Salah satu kepercayaan masyarakat Indonesia adalah tidak boleh dilaksanakannya pernikahan di bulan Safar. Padahal sudah jelas semua hari, bulan, maupun tahun adalah baik dan segala sesuatu yang terjadi, serta peristiwa juga rahasia di dalamnya adalah kehendak Allah SWT. Maka, tidak akan terjadi sesuatu tanpa seizin-Nya.

 

Hukum Menikah di Bulan Safar

Lalu, sebenarnya bagaimana hukum menikah di bulan Safar?

Dalam sudut pandang Islam, hukum menikah di bulan Safar adalah diperbolehkan. Seperti yang telah dijelaskan di atas, semua hari adalah baik. Tidak ada larangan bagi umat muslim yang ingin melangsungkan pernikahan. Beberapa ulama bahkan menyebutkan bulan Safar sebagai Shafarul Khair, yaitu bulan yang penuh dengan kebaikan dan keistimewaan.

 

Shabat, menikah merupakan kebaikan maka janganlah ditunda, tidak ada yang namanya bulan sengsara, bulan celaka, ataupun keburukan lainnya. Tidak semestinya sebagai umat Islam, kita meyakini hal-hal seperti bulan sial atau semacamnya. Karena semua hari adalah baik.

 

Umat Islam sangat dilarang percaya dengan hal-hal yang menganggap adanya hari sial atau sengsara. Karena sengsara yang sesungguhnya adalah diri yang berbuat zina tidak mau menikah atau berbuat hal yang dilarang lainnya oleh Allah SWT.

 

Maka, diperbolehkan menikah di bulan Safar ataupun bulan-bulan lainnya. Asalkan sesuai dengan syarat sah menikah. Berikut 5 rukun menikah:

  1. Mempelai Pria

Mempelai pria harus memenuhi syarat sebagai calon suami yang halal menikahi calon istri, yaitu Islam dan bukan mahram, tidak terpaksa, ditertentukan, dan tahu akan halalnya calon istri baginya.

  1. Mempelai Wanita

Mempelai Wanita yang dimaksud adalah yang halal dinikahi oleh mempelai pria. Calon pengantin dilarang memperistri perempuan yang masuk dalam kategori haram untuk dinikahi. Haramnya mempelai wanita untuk dinikahi bisa karena hubungan persusuan, pertalian darah, atau hubungan kemertuaan.

  1. Wali

Wali ialah orang tua mempelai wanita baik ayah, kakek, maupun paman dari pihak ayah (‘amm), dan pihak-pihak lainnya. Secara berurutan, yang berhak menjadi wali adalah ayah, lalu kakek dari pihak ayah, saudara lelaki kandung (kakak ataupun adik), saudara lelaki seayah, paman (saudara lelaki ayah), anak lelaki paman dari jalur ayah.

  1. 2 Saksi

Dua saksi ini harus memenuhi syarat adil dan terpercaya. Imam Abu Suja’ dalam Matan al-Ghâyah wa Taqrîb (Surabaya: Al-Hidayah, 2000), halaman 31 mengatakan, wali dan dua saksi membutuhkan enam persyaratan, yakni Islam, baligh, berakal, merdeka, lelaki, dan adil.

  1. Shighat

Shighat di sini meliputi ijab dan qabul yang diucapkan antara wali atau perwakilannya dengan mempelai pria.