
Perjalan Wakaf di indonesia
Istilah wakaf tidak terwujud pada zaman Rasulullah SAW karena pada masa tersebut wakaf lebih dikenali sebagai amalan bersedekah secara sukarela. Definisi wakaf secara umum pun tidak terdapat dalam ayat Al-Qur’an, pun dengan konsep wakaf tidak diterangkan secara jelas. Oleh karena wakaf termasuk infaq fi sabilillah, maka dasar yang digunakan para ulama dalam menerangkan konsep wakaf ini didasarkan pada keumuman ayat-ayat Al-Qur’an yang menjelaskan tentang infaq fi sabilillah.
Firman Allah SWT dalam QS. At-Taubah ayat 108 bisa menjadi salah satu rujukan implementasi wakaf:
Janganlah kamu bersembahyang dalam mesjid itu selama-lamanya. Sesungguhnya mesjid yang didirikan atas dasar takwa (mesjid Quba), sejak hari pertama adalah lebih patut kamu sholat di dalamnya. Di dalamnya mesjid itu ada orang-orang yang ingin membersihkan diri. Dan sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bersih (Q.S At-Taubah: 108)
Implementasi wakaf terwujud dalam ayat di atas dengan firman Allah SWT pada saat Rasulullah SA mewakafkan Masjid Quba tahun 622, yang berjarak 400km dari utara Kota Makkah. Setelah itu, enam bulan kemudian Rasulullah SAW tujuh kebun kurma di Madinah yang dibeli dari dua anak yatim Bani Najjar bernama Sahal dan Suhail asihan A’sad bin Zurarah senilai 800 dirham. Ditanah inilah dibangun Masjid Nabawi.
Hal ini membuktikan bahwa wakaf memberikan dampak yang sangat baik bagi umat dari masa ke masa. Begitu pun di Indonesia, wakaf merupakan salah satu instrument penting yang sudah berjalan dari masa ke masa.
Perjalanan Wakaf di Indonesia di Berbagai Era
Wakaf telah menjadi instrumen penting bagi pembangunan ekonomi di Indonesia. Di dalamnya mengandung unsur cinta, kasih sayang, dan kepedulian kepada sesama. Namun dalam perjalanan wakaf di indonesia mengalami beberapa fase penting hingga dapat diadopsi secara oleh sistem dan diakui hukum Indonesia.
Adanya regulasi saat ini, ternyata memang praktik wakaf telah dikenal lama di Indonesia bahkan sejak sebelum kemerdekaan. Lebih tepatnya sejak Islam masuk ke Indonesia pada akhir abad ke-12 Masehi. Maka, perjalanan wakaf di Indonesia dapat dibagi ke dalam 4 periode:
- Masa Kerajaan/Kesultanan Islam
Saat ini, banyak jejak dari para raja atau sultan yang mewakafkan harta pribadinya untuk berbagai keperluan seperti ibadah, pendidikan, komplek makam, tanah basah ataupun kering yang ditemukan hampir di seluruh Indonesia khususnya wilayah yang dipimpin oleh bupatinya yang beragama Islam. Hal ini membuktikan bahwa eksistensi wakaf telah diajarkan sejak dahulu oleh para raja-raja Islam di Seluruh Indonesia.
Jejak wakaf yang masih dapat ditemui saat ini, diantaranya seperti:
- Masjid Al Falah Jambi berasal dari Sultan Thah Saifuddin.
- Masjid Kauman Cirebon atau lebih dikenal Masjid Sang Cipta Rasa dari Sunan Gunung Jati.
- Masjid Agung Kauman Solo dari Susuhunan Paku Buwono X.
- Masjid Agung Banten dan madrasah di sekitarnya mendapat tanah wakaf dari Maulana Hasanudin, Maulana Yusuf, Maulana Pangeran Mas, dan Hartawan Muslim yang luasnya ratusan hektar.
- Masjid Agung Demak dan pesantrennya dibiayai dari hasil tanah wakaf sawah seluas kurang leboh 350 hektar Wakaf dari Raden Fatah.
- Masjid Agung Semarang dibiayai dengan tanah wakaf Bupati Semarang Pertama yakni Pangeran Samber Nyawa Seluas kurang lebih 19 hektar.
Peraturan wakaf telah ada sejak zaman kesultanan di tanah jawa, seperti yang telah diatur pada Staatblad No. 605, jo. Besluit Governmen General Van Ned Indie ddp. 12 Agustus 1896 No. 43, jo ddo. 6 November 1912. No. 22 (Bijblad 7760), bahwa masjid-masjid di Semarang, Kendal, Kaliwungu dan Demak memiliki tanah sawah bondo masjid (5% Mosekeembtsvendem) sebagai food untuk membiayai pemeliharaan dan seluruh biaya operasional perbaikan masjid, halaman dan makam keramat dari wali yang ada diingkungan masid-masjid tersebut. Hal tersebut menunjukkan pada jaman kesultanan telah ada peraturan harta wakaf sekalipun dalam hal yang masih terbatas.
- Masa Kolonial
Pada masa kolonial, wakaf telah memiliki posisi penting dalam pemerintahan agar lebih tertib hingga mereka mengeluarkan berbagai peraturan tentang wakaf.
Pertama, pada tahun 1905 Pemerintah Hindia Belanda mengeluarkan surat Edaran No. 435 melalui Sekretaris Gubernur, termuat dalam Bijblad 1905 No. 6196 tentang Toezicht op den houw van Mohammedaansche bedehuizen (Pengawasan Rumah Ibadah Umat Islam). Surat Edaran ini mengatur perwakafan tanah termasuk masjid dan rumah-rumah ibadah lainnya. Surat edaran ini juga memerintahkan kepada bupati untuk membuat list rumah ibadah umat islam yang berada di wilayah mereka masing-masing. Namun pada pelaksanaan peraturan ini menimbulkan aksi-reaksi dari berbagai unsur pergerakan umat Islam, karena dinilai campur tangan pemerintah kala itu terhadap urusan-urusan yang menyangkut agama Islam dibatasi. Maka, Pemerintah Kolonial kemudian mengeluarkan surat edaran selanjutnya untuk merubah sedikit maksud dari apa yang terkandung pada surat edaran yang Pertama.
Kedua pada tahun 1931, dikeluarkan Surat Edaran No. 1361/A yang termuat dalam Bijblad 1931 No. 12573, tentang Toizich van de Regeering of Muhammedan schebedehuizen, Vrijdagdienstten en Wakaf (Pengawasan Pemerintah terhadap Rumah Ibadah Umat Islam, Pelayanan Makanan Jum’at dan Wakaf). Yang bermakud untuk melakukan pengajuan izin kepada Bupati bagi siapa saja yang ingin berwakaf.
Ketiga, pada 24 Desember 1934 No. 3088/A sebagaimana Bijblad tahun 1934 No. 13390 tentang Toezicht Van de Regeering op Mohammedaansche bedehuizen, Verijdogdiesten en wakaf, berisi aturan baru yang diatur dalam surat edaran ini yaitu setiap perwakafan harus diberitahukan kepada bupati agar dapat dipertimbangkan atau meneliti peraturan umum atau peraturan tempat yang dilanggar agar Bupati dapat mendaftarkan wakaf tersebut dalam daftar yang tersedia.
Kemudian Ketiga surat edaran itu disusul dengan surat edaran Sekretaris Gubernur tanggal 27 Mei 1935 No.1273/A, sebagaimana yang termuat dalam Bijblad 1935 No.13480 tentang Teozijh Vande Regeering Muhammedaansche bedehuizen en Wakafs. Dalam surat edaran ini diberikan beberapa penegasan tentang prosedur perwakafan di samping itu dalam surat edaran ini juga disebutkan bahwa setiap perwakafan harus diberitahukan kepada bupati dengan maksud supaya bupati dapat mempertimbangkan atau meneliti peraturan umum atau peraturan tempat yang dilanggar agar Bupati dapat mendaftarkan wakaf itu di dalam daftar yang disediakan untuk itu.
- Pasca Kemerdekaan
Setelah kemerdekaan, peraturan-peraturan yang ditetapkan oleh pemerintahan Kolonial menyangkut masalah wakaf beberapa tetap berlaku. Hal ini berdasarkan Aturan Peralihan Undang-Undang Dasar 1945. Selama belum diadakan atau peraturan perundang-undangan yang baru, maka badan negara ataupun peraturan yang lama masih tetap dipakai atau berlaku sampai pemerintah mengeluarkan peraturan-perundangan yang baru. Dengan demikian Surat Edaran Sekretaris Governemen tetap berlaku, namun tetap saja karena wakaf belum diatur secara menyeluruh dalam bentuk perundang-undangan dan memang wakaf berasal dari hukum Islam dalam hal fiqh Islam. Kini telah dibuat peraturan yang berlaku seperti yang dimuat dalam buku Himpunan Peraturan Perundang-undangan Perwakafan Tanah yang diterbitkan oleh Departemen Agama RI, maka dalam uraian ini dikemukakan aturan sebagai berikut:
- UU No 15 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria pasa; 49 ayat (1) “Perwakafan tanah milik dilindungi dan diatur dengan Peraturan Pemerintah;
- PP No. 10 tahun 1961 tentang Pendaftaran Tanah Karena Peraturan ini berlaku umum, maka terdapat juga didalamnya mengenai pendaftaran tanah wakaf;
- Peraturan Menteri Agraria No. 14 Tahun 1961 tentang Permintaan dan Pemberian Izin pemindahan Hak Atas Tanah. Dikeluarkan pada 23 September 1961;
- Dan lain sebagainya.
Seluruh Undang-Undang yang dibuat setelah kemerdekaan hampir seluruhnya membahas tentang wakaf tanah dan peraturan yang berlaku kepadanya. Hal ini disebabkan, masyarakat secara luas hanya mengenal wakaf tanah. Namun setelah adanya wakaf yang berbentuk tunai maka dibentuklah perundangan-undangan Nomor 41 tahun 2004 tentang wakaf tunai, masyarakat telah mengenal bahwa wakaf tidak hanya tanah, tetapi wakaf dapat berbentuk uang. Perbincangan tentang wakaf sejak awal memang diarahkan pada wakaf benda bergerak dan tidak bergerak pada wakaf benda tidak bergerak seperti tanah, bangunan, pohon untuk diambil buahnya dan sumur untuk diambil airnya. Sedangkan wakaf benda bergerak yang kini sudah menjadi perbincangan dengan sebutan Cash Waqf.
- Era Reformasi
Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 tentang Wakaf menjadi tonggak penting dalam positivisasi hukum wakaf, yang mengakomodasi wakaf uang dan harta bergerak lainnya, serta mendorong pengelolaan wakaf yang lebih produktif.
Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 menetapkan landasan hukum yang lebih luas untuk wakaf, termasuk wakaf uang dan harta bergerak lainnya, serta mengatur pengelolaan dan pengembangan wakaf. Undang-undang ini mencakup ketentuan tentang:
- Definisi dan unsur-unsur wakaf
- Penyelenggaraan wakaf
- Peruntukan harta benda wakaf
- Penyelesaian sengketa wakaf
- Larangan dan sanksi
Secara umum, undang-undang ini bertujuan untuk memberikan dasar hukum yang kuat bagi penyelenggaraan wakaf di Indonesia, serta memastikan pengelolaan wakaf yang produktif, transparan, dan sesuai dengan prinsip syariah.