Edukasi Wakaf
Wakaf Pada Masa Kerajaan Islam di Indonesia

Wakaf Pada Masa Kerajaan Islam di Indonesia

Wakaf telah menjadi instrumen penting bagi pembangunan ekonomi di Indonesia karena didalamnya terdapat bukti kepedulian umat Islam terhadap sesama. Dalam perjalanannya, wakaf di Indonesia mengalami beberapa fase penting, salah satunya adalah pada masa Kerajaan/kesultanan Islam di Nusantara.

Ternyata memang praktik wakaf telah dikenal lama di Indonesia bahkan sejak sebelum kemerdekaan. Pada abad ke-13, praktik wakaf ini memainkan peran penting dalam penyebaran Islam, Pembangunan infrastruktur, dan, kesejahteraan masyarakat di Nusantara. Pada saat itu, berbagai bentuk wakaf seperti masjid, sekolah agama, hingga asrama pemondokan di Tanah Suci, menunjukkan bahwa wakaf bukan hanya sebagai simbol ibadah, namun menjadi strategi berkelanjutan sosial yang diterapkan Kerajaan Islam di Nusantara.

Saat ini, banyak jejak dari para raja atau sultan yang mewakafkan harta pribadinya untuk berbagai keperluan seperti ibadah, pendidikan, komplek makam, tanah basah ataupun kering yang ditemukan hampir di seluruh Indonesia khususnya wilayah yang dipimpin oleh bupatinya yang beragama Islam. Hal ini membuktikan bahwa eksistensi wakaf telah diajarkan sejak dahulu oleh para raja-raja Islam di Seluruh Indonesia.

Wakaf Masjid

Masjid menjadi bentuk wakaf paling umum pada masa awal penyebaran Islam di Nusantara. Sejak abad ke-13 hingga ke-16, pembangunan masjid tidak hanya sebagai tempat ibadah tetapi juga sebagai pusat pendidikan dan dakwah. Selain masjid, wakaf tanah untuk sekolah agama, lahan irigasi, pemakaman, dan perkebunan juga berkembang, meskipun dalam skala yang lebih kecil jika dibandingkan negara-negara Islam lainnya seperti Mesir dan Turki.

Berikut jejak wakaf masjid yang masih dapat ditemui saat ini, diantaranya seperti:

Masjid Al Falah Jambi berasal dari Sultan Thah Saifuddin.

Masjid Kauman Cirebon atau lebih dikenal Masjid Sang Cipta Rasa dari Sunan Gunung Jati.

Masjid Agung Kauman Solo dari Susuhunan Paku Buwono X.

Masjid Agung Banten dan madrasah di sekitarnya mendapat tanah wakaf dari Maulana Hasanudin, Maulana Yusuf, Maulana Pangeran Mas, dan Hartawan Muslim yang luasnya ratusan hektar.

Masjid Agung Demak dan pesantrennya dibiayai dari hasil tanah wakaf sawah seluas kurang leboh 350 hektar Wakaf dari Raden Fatah.

Masjid Agung Semarang dibiayai dengan tanah wakaf Bupati Semarang Pertama yakni Pangeran Samber Nyawa Seluas kurang lebih 19 hektar.

Peraturan wakaf telah ada sejak zaman kesultanan di tanah jawa, seperti yang telah diatur pada Staatblad No. 605, jo. Besluit Governmen General Van Ned Indie ddp. 12 Agustus 1896 No. 43, jo ddo. 6 November 1912. No. 22 (Bijblad 7760), bahwa masjid-masjid di Semarang, Kendal, Kaliwungu dan Demak memiliki tanah sawah bondo masjid (5% Mosekeembtsvendem) sebagai food untuk membiayai pemeliharaan dan seluruh biaya operasional perbaikan masjid, halaman dan makam keramat dari wali yang ada diingkungan masid-masjid tersebut. Hal tersebut menunjukkan pada jaman kesultanan telah ada peraturan harta wakaf sekalipun dalam hal yang masih terbatas.

Wakaf Pemondokan (Asrama) di Tanah Suci

Salah satu bentuk wakaf yang cukup unik dari kerajaan Islam di Nusantara adalah wakaf pemondokan (asrama) di kota-kota suci Mekkah dan Madinah. Wakaf ini diberikan oleh para penguasa Nusantara untuk mendukung jamaah haji dari wilayah mereka. Misalnya, Raja Ahmad dari Kesultanan Riau mewakafkan beberapa pemondokan di Madinah dan Mekkah, termasuk sebidang tanah di Mina.

Fenomena ini juga didukung oleh raja-raja lain seperti Sultan Hamengkubuwono VII dari Yogyakarta yang pada tahun 1879 turut mendirikan penginapan wakaf di Mekkah. Pemondokan ini diperuntukkan bagi jamaah haji dari berbagai daerah seperti Aceh, Banten, dan Pontianak, sehingga mempermudah perjalanan ibadah mereka. Para sultan juga bertanggung jawab atas pemeliharaan properti tersebut agar manfaatnya terus berlanjut, mencerminkan peran wakaf sebagai solusi jangka panjang bagi kepentingan umat.

Wakaf Buku dan Kapal

Dikutip dari wakafmes.id, Selain wakaf properti, beberapa kerajaan Islam di Nusantara juga mewakafkan buku dan kapal sebagai bagian dari kontribusi mereka terhadap pendidikan dan mobilitas umat Islam. Sultan Maulana Muhammad dari Banten diketahui mewakafkan buku-buku keagamaan untuk keperluan pendidikan, memastikan akses terhadap literatur Islam bagi generasi mendatang.

Dalam catatan sejarah Banten, disebutkan bahwa Kesultanan Mughal, khususnya Sultan Akbar, pernah mewakafkan kapal ‘Ilahi’ yang digunakan untuk mengangkut jamaah haji, termasuk dari Nusantara, ke Mekkah. Hal ini menunjukkan bahwa konsep wakaf tidak hanya terbatas pada bangunan fisik tetapi juga mencakup sarana yang mendukung pendidikan dan perjalanan ibadah. Pengaruh dari Kekhalifahan Turki Usmani dan Kesultanan Mughal tampaknya turut mendorong perkembangan tradisi wakaf ini di Nusantara, memperkaya sistem wakaf yang ada.

Mari jadi penerus kebaikan wakaf untuk ummat lebih baik dengan berwakaf produktif di gojariah.org