Edukasi Wakaf
Wakaf di Masa Penjajahan

Wakaf di Masa Penjajahan

Wakaf adalah perbuatan hukum wakif (pihak yang melakukan wakaf) untuk memisahkan dan/atau menyerahkan sebagian harta benda miliknya untuk dimanfaatkan selamanya atau untuk jangka waktu tertentu sesuai dengan kepentingannya guna keperluan ibadah dan/atau kesejahteraan umum sesuai syariah.

Definisi wakaf secara umum tidak terdapat dalam ayat Al-Qur’an, pun dengan konsep wakaf tidak diterangkan secara jelas.  Oleh karena wakaf termasuk infaq fi sabilillah, maka dasar yang digunakan para ulama dalam menerangkan konsep wakaf ini didasarkan pada keumuman ayat-ayat Al-Qur’an yang menjelaskan tentang infaq fi sabilillah. Ayat-ayat tersebut antara lain:

“Hai orang-orang yang beriman! Nafkahkanlah (di jalan Allah) sebagian dari hasil usaha kamu yang baik-baik, dan sebagian dari apa yang Kami keluarkan dari bumi untuk kamu.” (QS. Al-Baqarah (2): 267) 

“Kamu sekali-kali tidak sampai kepada kebajikan (yang sempurna) sebelum kamu menafkahkan sebagian dari apa yang kamu cintai.” (QS. Ali Imran (3): 92) 

“Perumpamaan (nafkah yang dikeluarkan oleh) orang-orang yang menafkahkan hartanya di jalan Allah adalah serupa dengan sebutir benih yang menumbuhkan tujuh bulir. Pada tiap-tiap bulir seratus biji. Allah melipat gandakan (ganjaran) bagi sesiapa yang Dia kehendaki, dan Allah Maha Luas (karunia-Nya) lagi Maha Mengetahui.” (QS. Al-Baqarah (2): 261)

Ayat-ayat tersebut di atas menjelaskan tentang anjuran untuk menginfakkan harta yang diperoleh untuk mendapatkan pahala dan kebaikan. Di samping itu, ayat 261 surat Al-Baqarah telah menyebutkan pahala yang berlipat ganda yang akan diperoleh orang yang menginfakkan hartanya di jalan Allah.

Sementara itu, wakaf di Indonesia diatur dalam Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 41 Tahun 2006. Di dalamnya terdapat tata pelaksanaan mengenai wakaf, tentang wakif, ikrar wakaf, nazhir, maukuf alaih, dan yang lainnya terkait wakaf.

Praktik wakaf ini ternyata telah ada sejak masa penjajahan dan regulasinya telah diatur pada era Pemerintahan Hindia Belanda. Bagaimana praktik wakaf ini berjalan pada masa penjajahan? Artikel ini akan membahas secara singkat mengenai regulasi wakaf di masa penjajahan.

Regulasi Wakaf Era Pemerintahan Hindia Belanda

Sahabat, jejak regulasi wakaf di Indonesia dimulai sejak masa penjajahan. Hal ini dapat dilihat dengan terbitnya beberapa peraturan tentang wakaf di era Pemerintahan Hindia Belanda. Menurut Djunaidi, terdapat 4 surat edaran tentang wakaf yang diluncurkan, diantaranya adalah:

  1. Surat Edaran Sekretaris Governemen pertama tanggal 31 Januari 1905, Nomor 435 yang tertuang dalam Bijblad 1905 No. 6196 tentang Toezicht op den bouw van Muhammadaansche Bedehuizen. Surat ini menunjukkan bahwa pemerintah Kolonial tidak melarang praktik wakaf yang dilakukan oleh umat Islam di wilayah Jawa dan Madura demi menjalankan ajaran agamanya asalkan tempat ibadah tersebut diperuntukkan bagi kepentingan umum.

Surat edaran ini dikeluarkan sebagai upaya untuk mengatur dan mengawasi pengelolaan wakaf, khususnya yang berkaitan dengan pemeliharaan rumah ibadah umat Muslim.

Ini adalah publikasi resmi yang memuat berbagai peraturan dan pengumuman pada masa Hindia Belanda. Surat edaran tersebut dimuat dalam Bijblad ini, menunjukkan bahwa surat edaran tersebut memiliki kekuatan hukum pada masa itu.

  • Pengawasan Pemeliharaan Rumah Ibadah

Surat edaran ini secara spesifik mengatur tentang pengawasan terhadap pemeliharaan rumah ibadah, yang menunjukkan perhatian pemerintah Hindia Belanda terhadap keberlangsungan dan kondisi fisik tempat-tempat ibadah umat Muslim pada masa itu.

  • Kontekstualisasi

Pengaturan wakaf pada masa Hindia Belanda ini merupakan bagian dari upaya pemerintah kolonial untuk mengatur berbagai aspek kehidupan masyarakat, termasuk kehidupan keagamaan.

Meskipun surat edaran ini mengatur tentang wakaf, fokusnya lebih pada aspek pemeliharaan rumah ibadah, dan bukan pada pengaturan wakaf secara luas seperti yang ada dalam peraturan perundang-undangan saat ini. Namun pada pelaksanaan peraturan ini menimbulkan aksi-reaksi dari berbagai unsur pergerakan umat Islam, karena dinilai campur tangan Pemerintah kala itu terhadap urusan-urusan yang menyangkut agama Islam dibatasi. Maka, Pemerintah Kolonial kemudian mengeluarkan surat edaran selanjutnya untuk merubah sedikit maksud dari apa yang terkandung pada Surat Edaran yang Pertama.

 

  1. Kedua pada tahun 1931, dikeluarkan Surat Edaran No. 1361/A yang termuat dalam Bijblad 1931 No. 12573, tentang Toizichvan de Regeering of Muhammedan schebedehuizen, Vrijdagdienstten en Wakaf (Pengawasan Pemerintah terhadap Rumah Ibadah Umat Islam, Pelayanan Makanan Jum’at dan Wakaf). Yang bermakud untuk melakukan pengajuan izin kepada Bupati bagi siapa saja yang ingin berwakaf.

 

  1. Ketiga, pada 24 Desember 1934 No. 3088/A sebagaimana Bijblad tahun 1934 No. 13390 tentang Toezicht Van de Regeering op Mohammedaansche bedehuizen, Verijdogdiesten en wakaf, berisi aturan baru yang diatur dalam surat edaran ini yaitu setiap perwakafan harus diberitahukan kepada bupati agar dapa dipertimbangkan atau meneliti peraturan umum atau peraturan tempat yang dilanggar agar Bupati dapat mendaftarkan wakaf tersebut dalam daftar yang tersedia.

 

  1. Kemudian Ketiga surat edaran itu kemudian disusul dengan surat edaran Sekretaris Gubernur tanggal 27 Mei 1935 No.1273/A, sebagaimana yang termuat dalam Bijblad 1935 No.13480 tentang Teozijh Vande Regeering Muhammedaansche bedehuizen en Wakafs. Dalam surat edaran ini diberikan beberapa penegasan tentang prosedur perwakafan di samping itu dalam surat edaran ini juga disebutkan bahwa setiap perwakafan harus diberitahukam kepada Bupati dengan maksud supaya Bupati dapat mempertimbangkan atau meneliti peraturan umum atau peraturan tempat yang dilanggar agar Bupati dapat mendaftarkan wakaf itu di dalam daftar yang disediakan untuk itu.