Bolehkah Menjual Harta Wakaf?
Mewakafkan harta untuk kepentingan umum merupakan tindakan mulia yang sangat dianjurkan dalam agama Islam. Salah satu jenis harta yang sering diwakafkan oleh orang Indonesia adalah tanah.
Berdasarkan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 41 Tahun 2004, wakaf adalah perbuatan hukum wakif untuk memisahkan dan/atau menyerahkan sebagian harta benda milik seseorang untuk dimanfaatkan selamanya atau untuk jangka waktu tertentu sesuai dengan kepentingannya guna keperluan ibadah dan/atau kesejahteraan umum menurut syariah.
Sementara itu, menurut ilmu fiqih, wakaf berarti menyerahkan suatu hak milik yang tahan lama kepada nazhir (penjaga wakaf), atau kepada suatu badan hukum pengelola dengan ketentuan bahwa hasilnya digunakan untuk hal-hal yang sesuai dengan syariat islam.
Lalu, bagaimana jika menemukan kasus harta wakaf yang di jual? Apakah diperbolehkan?
Hukum Menjual Harta Wakaf
Diceritakan dalam suatu riwayat, Ibnu Umar RA. pernah memperoleh sebidang tanah di Khaibar. Kemudian beliau mendatangi Nabi Muhammad SAW untuk meminta nasihat, “Ya Rasulullah, saya mendapatkan sebidang tanah di Khaibar, yang saya tidak pernah mendapatkan harta lebih baik dari pada tanah itu, maka apa yang akan engkau perintahkan kepadaku dengannya?”
Rasulullah menjawab, “Jika engkau berkenan, tahanlah pokoknya, dan bersedekahlah dengan hasilnya.”
Maka bersedekahlah Umar dengan hasilnya, sementara untuk pokoknya tidak dijual, dihadiahkan maupun diwariskan. Umar menyedekahkan hasilnya untuk orang fakir, budak, kerabat dan orang-orang yang sedang berjuang di jalan Allah.
Pengurusnya diperbolehkan untuk menikmati hasilnya dengan cara makruf serta memberikannya kepada teman tanpa meminta harga. (HR. al-Bukhari)
Dalam hadits tersebut menjelaskan bahwa sesuatu atau harta yang sudah diwakafkan maka tidak boleh dijualbelikan. Kecuali apabila harta tersebut dikelola atau jenis wakaf produktif, maka hasil keuntungannya boleh dimanfaatkan untuk kepentingan umum sesuai akad dari wakif.
Berdasarkan hadits Rasulullah SAW yang diriwayatkan oleh Imam al-Bukhari dan Imam Muslim (muttafaqun a’alaih), secara prinsip (pada prinsipnya), tanah wakaf itu tidak boleh dijualbelikan, tidak boleh dihibahkan, dan juga tidak boleh diwariskan.
Begitu pula menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia, dalam hal ini terutama UU RI No 41 Tahun 2004 tentang wakaf yang menyatakan, Pasal 3: wakaf yang sudah diikrarkan tidak dapat dibatalkan.
Pasal 40: harta wakaf yang sudah diwakafkan dilarang: a. dijadikan jaminan; b. disita; c. dihibahkan; d. dijual; e. diwariskan; f. ditukar; atau g. dialihkan dalam bentuk pengalihan hak lainnya.
Berdasarkan hadits dan teks undang-undang tersebut, maka tanah wakaf yang tidak boleh diperjualbelikan, termasuk oleh wakifnya sendiri, baik untuk bertindak sebagai pembeli sekalipun, apalagi sebagai penjual, tidaklah dibenarkan (dilarang).
Bagaimana Jika Benda Wakaf Sudah Rusak atau Kurang Bermanfaat?
Dikutip dari kitab wakaf, apabila barang/ benda yang diwakafkan sudah mulai berkurang manfaatnya atau rusak maka boleh dipergunakan untuk lainnya yang serupa. Boleh dijual dan hasilnya untuk meneruskan wakafnya.
Sementara apabila harta benda wakaf tersebut tidak sesuai dengan kebutuhan penerimanya (mauquf alaih), maka boleh menukar dengan barang lain yang memiliki nilai sama, asalkan sudah meminta izin kepada wakif.
Pada intinya, wakaf bertujuan untuk memberikan manfaat yang berkelanjutan bagi penerimanya. Seperti yang kita lihat, banyak tanah wakaf yang kemudian dikembangkan menjadi pondok pesantren, tempat ibadah, bahkan rumah sakit.
Sahabat dapat menunaikan wakaf bersama Badan Wakaf Assyifa dan raih pahala jariyah untuk bekal menghadap-Nya kelak. Wakaf pembangunan pondok pesantren sekarang melalui https://bit.ly/pembangunanpondok